Sabtu, 01 Oktober 2011

REVIEW BUKU MAQASID SYARIAH DALAM PERGUMULAN POLITIK

Pemahaman ushul fikih sebagai suatu usaha dalam penetapan suatu syariah (istinbath Al-Hukm) perlu dikoreksi. Selama ini ushul fikih lebih dianggap sebagai doktrin yang baku ketimbang suatu metode atau proses dalam upaya pengambilan hukum islam. Pandangan yang keliru ini telah menjadikan ushul fikih “jalan ditempat”, tidak ada perkembangan dan hanya meniru dari warisan kaidah-kaidah klasik sementara disisi lain permasalahan-permasalahan yang membutuhkan keputusan syariah semakin kompleks.
Maqasid Assariah memberikan jawaban dari permasalahan di atas. Maqasid Assariah bukanlah sebuah doktrin atau slogan, namun sebuah metode kontemporer yang digunakan dalam rangka mengambil suatu keputusan hukum yang bertujuan untuk keselamatan dunia dan akhirat.
Salah satu aspek maqasid syariah membagi tiga skala prioritas yang saling melengkapi. Pertama daruriat/ primer (Keharusan-keharusan/ keniscayaan-keniscayaan), yaitu sesuatu yang harus ada demi kelangsungan kehidupan manusia. Kedua hajjiyat / sekunder (kebutuhan-kebutuhan) yaitu sesuatu yang dibutuhkan demi kelangsungan kehidupan. Dan yang ketiga Tahsiniyat testier (proses-proses dekoratif/ ornamental) yaitu untuk memperindah pencapaian kehidupan manusia.
Dengan mengkatagorikan ayat al-qur’an menjadi tiga kelompok, yaitu ayat Quraniyah, ayat insaniah dan ayat kauniyah serta kajian-kajian kosmos dan kkosmis menjadikan ushul fikih dengan maqasid syariah semakin sempurna.
Singkatnya maqasid syariah harus memperhatikan kehidupan manusia, baik dari segi kelangsungannya atau yang bersifat estetika.
Dewasa ini kajian ushul fikih dengan mengedepankan maqasid syariah sangat diperlukan terutama ditengah dinamika pergumulan politik global. Di Indonesia saja pergumulan politik nyaris membuat pecah belah umat islam. Adanya dikotomi muslim tradisionalis dan muslim modernis menjadi gambaran burum politik umat islam di Indonesia. Hal ini bukan hanya disebabkan dari politik luar islam yang sengaja membuat dikotomi itu, namun cara pandang umat islam terhadap maqasid syariah bersifat hitam putih atau meminjam istilah Yudian “esensialisme”.
Dalam pandangan orang awam, KH. Wahid Hasyim dipandang sebagai tokoh tradisionalis. KH. Ahmad Dahlan disebut sebagai tokoh modernis dan seterusnya. Pandangan ini tidak dapat diterima jika kita melihat dengan kaca mata maqasid syariah. KH. Wahid Hasyim bisa dikatakan seorang modernis ketika ia menerima bantuan dari Jepang sebagai jalan menuju Indonesia merdeka.
Dalam kasus ini KH. Wahid Hasyim telah melakukan ijtihad dengan menggunakan kaidah ushul fikih dan tentu dengan cara pandang maqasid syariah “sesuatu yang tidak dapat dicapai secara keseluruhan tidak dapat ditinggalkan secara keseluruhan”. Jika saja KH. Wahid Hasyim mengambil kaidah ushul fikih “Menghilangkan keburukan-keburukan lebih dahulu diambil dari pada mendatangkan keuntungan” dalam kasus ini, tentu keberadaan islam yang sudah termarginalkan saat jaman Belanda akan terulang di jaman Jepang.
Inilah maqasid syariah yang bersifat luwes dan fleksibel dengan menimbang mana yang lebih menguntungkan kehidupan manusia, kelangsungannya dan kedamaian serta keamanannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar anda tentang blog ini..!

BERTEMAN DENGAN SAYA