Sabtu, 31 Maret 2012

PUBLIKASI KARYA ILMIAH SEBAGAI PERSYARATAN KELULUSAN


PUBLIKASI KARYA ILMIAH SEBAGAI PERSYARATAN KELULUSAN
( STUDI ANALISIS SURAT DITJEN DIKTI KEMENDIKBUD TENTANG PERSYARATAN  MEMPUBLIKASIKAN MAKALAH DI JURNAL ILMIAH BAGI S1, S2 DAN S3 )
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Islam.
Dosen Pengampu : Prof. DR. Usman Abu Bakar
Dibuat Oleh :
MARZUKI
NIM : 10913135


I.             PENDAHULUAN

Untuk meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Masukan ilmiah yang disampaikan para ahli dari negara-negara yang berhasil menerapkannya, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Singapura selalu memunculkan konsep yang tidak selalu bisa diadopsi dan diadaptasi. Karena berbagai macam latar yang berbeda. Situasi, kondisi, latar budaya dan pola pikir bangsa kita tentunya tidak homogen dengan negara-negara yang diteladani. Malahan, konsep yang di impor itu terkesan dijadikan sebagai “proyek” yang bertendensi pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Artinya, proyek bukan sebagai alat melainkan sebagai tujuan.
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Upaya pemerintah yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada yang berpendapat mungkin manajemennya yang kurang tepat dan ada pula yang mengatakan bahwa pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan. Karena itu, kembali pada apa yang kita sebut sebagai kekayaan lokal, bahwa tidak sepenuhnya apa yang dapat dipraktikkan dengan baik di luar negeri bisa seratus persen juga berhasil di Indonesia, semua itu membutuhkan tahapan, namun dengan kerangka yang jelas dan tidak dibebani oleh proyek yang demi kepentingan sesaat atau golongan.
Salah satu kebijakan yang baru-baru ini menjadi diskursus dikalangan intelektual yaitu dikeluarkannya surat edaran Ditjen Dikti Kemendikbud Nomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 tentang persyaratan kewajiban lulusan S1, S2 dan S3 untuk mempublikasikan karya ilmiah di jurnal pendidikan. Pemberlakuan kebijakan tersebut dinilai terlalu terburu-buru dan dianggap tidak melihat kondisi di lapangan. Namun disisi lain kebijakan itu dapat momotivasi para mahasiswa untuk bersaing dalam melakukan penelitian ilmiah di samping juga sebagai upaya mendongkrak kualitas lulusan S1, S2 dan S3 yang selama ini dinilai mandek dalam melakukan penelitian ilmiah apalagi dalam hal menulis karya ilmiah. Lalu sejauhmanakah kebijakan publikasi karya ilmiah itu menjadi efektif untuk meningkatkan kualitas lulusan S1, S2 atau S3? Yang nantinya mereka akan menjadi aktor-aktor dalam membangun bangsa ini.
II.          POKOK-POKOK REGULASI/ KEBIJAKAN DITJEN DIKTI
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kebijakan Ditjen Dikti berkaitan dengan publikasi jurnal ilmiah telah menimbulkan kontroversi. Namun perlu disadari bahwa sesuatu tidak mungkin berdiri di ruang hampa. Kebijakan Ditjen Dikti itu tentu berlatar belakang dan beralasan. Untuk lebih jelas pokok-pokok dari kebijakannya tentu isi surat edaran yang “menghebohkan” itu ada baiknya penulis mereview ulang isi suratnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibanding dengan Malaysia, hanya sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya. Sehubungan dengan itu terhitung mulai lulusan setelah Agustus 2012 diberlakukan ketentuan sebagai berikut :
1.                  Untuk lulus program sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah.
2.                  Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi Dikti.
3.                  Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.
Demikian atas perhatian saudara kami ucapkan terima kasih.
Dari isi surat edaran yang disampaikan kepada semua perguruan tinggi dan univesitas baik itu negeri ataupun swasta jelaslah bahwa persyaratan untuk menyelesaikan studi S1, S2 dan S3 harus menghasilkan jurnal ilmiah. Hanya saja bobot jurnal ilmiah yang ditentukan Dikti bervariasi tergantung dari jenjang masing-masing tingkatan studi. Untuk S1 cukup membuat makalah yang dimuat dijurnal ilmiah. Tingkat S2 membuat makalah yang dipublikasikan jurnal ilmiah nasional, sedangkan untuk S3 menghasilkan makalah yang diterima terbit pada jurnal ilmiah internasional.
III.      ANALISIS KEBIJAKAN

A.    ANALISIS YURIDIS
Kebijakan yang dikeluarkan dikti tentu berimplikasi terhadap kebijakan pendidikan secara nasional. Dikti adalah sebuah sebuah organisasi kelembagaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kemendiknas. Seharusnya semua peraturan-peraturan yang dikeluarkan Dikti haruslah mengacu pada Permendiknas atau Undang-Undang sebagai implementasi dari peraturan yang ada di atasnya.
Berkaitan dengan surat edaran tersebut masih perlu dikritisi dan dipertanyakan landasan hukum yang mana yang digunakan dalam membuat kebijakan penerbitan jurnal ilmiah ini?. Apakah kebijakan yang sangat membutuhkan program yang rumit ini cukup hanya dengan sebuah surat edaran dirjen, kenapa jika publikasi ilmiah itu dianggap penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kuantitas karya ilmiah tidak dijadikan Permendiknas?
Selama ini untuk menentukan persyaratan kelulusan bagi para mahasiswa diserahkan kepada Universitas atau Perguruan tinggi masing-masing. Biasanya mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan sejumlah SKS dan telah melaksanakan program akademik dan administratif yang telah ditentukan Universitas atau perguruan tinggi setempat. Otonomi perguruan tinggi tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010 pasal 58F. Otonomi tersebut mencakup otoritas perguruan tinggi dalam menentukan kelulusan bagi para mahasiswanya. Dengan demikian apabila surat edaran Dikti itu dijadikan sebagai acuan hukum maka sangatlah naif dan tidak kuat untuk dijadikan landasan kebijakan. Selain itupula permasalaha publikasi jurnal ilmiah memerlukan berbagai persiapan dan planing yang sangat kompleks sehingga membutuhkan landasan yuridis yang lebih kuat, minimal setingkat Peraturan menteri.
Dengan demikian Dikti menjadi petunjuk teknis dalam hal peraturan-peraturan pendidikan. Dan juga kebijakan Dikti merupakan petunjuk pelaksanaan peraturan.
B.   ANALISIS TEORITIS
Jika kita melihat isi dari surat edarah tersebut dinyatakan bahwa semua mahasiswa S1, S2 dan S3 harus membuat makalah akan tetapi makalh tersebut harus dipublikasikan dijurnal ilmiah baik tingkat nasional maupun internasional.
Kata “makalah” menjadi ambigu. Kata “makalah” dalam kamus besar bahasa Indonesia menunjukan arti karya tulis pelajar atau mahasiswa sebagai laporan hasil atas pelaksanaan tugas di sekolah ataupun perguruan tinggi. Dalam hal ini makalah merupakan laporan dari suatu tugas yang berbentuk tulisan. Tugas yang dimaksud mengandung arti umum tidak hanya melalui jalur penelitian.
Sedangkan jurnal ilmiah adalah terbitan berkala yang berbentuk pamflet berisi bahan ilmiah yang sangat diminati orang. Biasanya jurnal terbit dikampus-kampus atau lembaga penelitian sebagai bahan laporan dari sebuah tugas atau suatu penelitian.
Jika yang dimaksud dengan makalah yang diterbitkan dijurnal ilmiah maka makalah tersebut harus menjadi suatu laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh seseorang. Bisa dibayangkan berapa lama untuk melakukan penelitian ini dan berapa besar biaya yang dikeluarkan.
Selain itupula surat edaran dikti tersebut diawali dengan perbandingan hasil karya ilmiah Indonesia dengan Malaysia. Sedangkan kita ketahui sentimen konflik antar dua negara ini sangat sensitif. Membandingkan dua negara dengan kondisi yang masing-masing berbeda dalam menggunakan aturan sangatlah tidak etis, apalagi perbandingan itu dijadikan suatu bahan sebagai landasan kebijakan. Jangan sampai surat edaran ini dianggap hanya sebagai “ngejar target” atau gengsi belaka.
C.   ANALISIS EMPIRIS

Sebagai bahan pertimbangan dari implementasi kebijakan publikasi ilmiah perlu diperhatikan beberapa hal di antaranya kondisi faktual jumlah jurnal yang ada saat ini sangat minim. Dalam catatan LIPI, hingga saat ini, jumlah jurnal ilmiah (cetak) di Indonesia hanya sekitar 7.000 buah. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi LIPI. Mendikbud memang memberikan kelonggaran untuk S-1 diperbolehkan jurnal apa saja, namun kebijakan ini pun tidak menyelesaikan masalah. Dibutuhkan satu juta lebih halaman pada jurnal untuk karya S-1. Untuk S-2 dan S-3, persoalan menjadi lebih pelik lagi. Bisa dihitung, berapa halaman jurnal harus tersedia seandainya ada 5.000 calon magister tiap tahun. Dengan jumlah jurnal yang masih minim dibandingkan kebutuhan publikasi karya ilmiah itu, akan timbul ekses lanjutan. Upaya menerbitkan jurnal, sebagaimana disarankan Mendikbud kepada para pengelola pendidikan tinggi, semata-mata atas dasar kebutuhan itu akan menyurutkan kontrol kualitas. Yang lebih dikhawatirkan akan bermunculan jurnal “abal-abal”, plagiator dan calo karya ilmiah.

D.   ANALISIS EKONOMIS DAN POLITIK

Sebagaimana dijelaskan di atas untuk menampung karya ilmiah semua tingkatan akademik dalam setahun diperlukan pengadaan jurnal baru. Bisa dibayangkan jika dalam satu tahun terdapat lulusan 1000 orang dan dari 1000 orang tersebut membuat makalah sebanyak 20 halaman maka dibutuhkan 20000 halaman untuk memuat karya ilmiah tersebut. Dapat dibayangkan juga berapa besar biaya pencetakan yang akan dikeluarkan oleh penerbit. Lalu siapa yang akan membaca jurnal sebegitu banyaknya?. Jangan sampai hasil karya dari mahasiswa yang begitu banyaknya hanya sekedar jadi sampah belaka.
Dari sisi politik surat edaran dikti memicu terjadinya rasa sentimen toleransi bernegara. Hubungan Indonesia-malaysia yang sudah terombak-ambik dengan berbagai persoalan kini mulai lagi dipicu dengan adanya perbandingan jumlah karya ilmiah di Indonesia dengan jumlah karya ilmiah Malaysia. Akan muncul lagi silih singgung tentang isi karya ilmiah tersebut antara isi karya ilmiah mahasiswa Indonesia dengan isi karya ilmiah mahasiswa Malaysia.


IV.      ALTERNATIF SOLUSI
Dengan mengacu pada analisis di atas maka seyogianya Dirjen Pendidikan Tinggi harus terlebih dahulu melihat pada kondisi rill di lapangan sebelum memberlakukan kebijakan tersebut. Kebijakan publikasi karya ilmiah ada baiknya dilakukan secara bertahap sambil membenahkan berbagai aspek termasuk penyediaan jurnal ilmiah.
Selain itu pula Dirjen Dikti perlu membuat standarisasi jurnal yang boleh mempublikasikan karya ilmiah mahasiswa. Jurnal tersebut juga harus jelas dan mengacu kepada aturan—aturan yang dibuat Dikti.
Selain dilakukan secara bertahap kebijakan ini perlu dipertegas dengan peraturan menteri pendidikan agar landasan hukumnya jelas. Selain itu pula harus dipertegas apakah skripsi yang tadinya menjadi tugas akhir dan persyaratan kelulusan mahasiswa masih berlaku atau cukup hanya dengan mempublikasikan karya ilmiah. Jangan sampai mahasiswa dibebani dengan skripsi dan juga karya ilmiah. Dan belum tentu semua mahasiswa bercita-cita sebagai akademisi.
Di samping itu juga pemerintah harus segera membuat rencana dalam pengadaan anggaran untuk mensosialisasikan kebijakan ini. Jangan sampai kebijakan publikasi ini hanya sekedar gengsi belaka.


V.   PENUTUP
Kebijakan Dikti tentang publikasi karya ilmiah ini memang sangat penting dalam rangka menumbuh kembangkan budaya menulis dikalangan mahasiswa di samping meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Kuantitas jurnal ilmiah dalam suatu negara juga menjadi ukuran dalam keberhasilan pendidikan yang berpusat pada mutu. Akan tetapi kebijakan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan jangan terkesan terburu-buru atau dipaksakan. Sosialisasi dan pembenahan sangat penting dilakukan sebelum kebijakan ini dilaksanakan.
Aturan hukum yang jelas juga menjadi sangat penting dalam mengatur pempublikasian dan syarat karya ilmiah berhak untuk dipublikasikan. Dalam hal ini Dikti harus mengatur secara komprehensif.









DAFTAR PUSTAKA
1.      Qonita Alya, Kamus besar Bahasa Indonesia, PT. Indah jaya 2010
2.      www.kemenag.go.id
3.      Kumpulan peraturan pendidikan, kanwil jawa barat
4.      Media Indonesia, 15 Februari 2012, berlebihan penolakan APTISI terkait Jurnal ilmiah
5.      Pikiran rakyat, 12 Februari 2012, APTISI Tolak jurnal Ilmiah syarat lulus


Selasa, 13 Maret 2012

SK DIRJEN PENDIS TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERHITUNGAN BEBAN KERJA GURU MADRASAH

Bagi yang ingin tahu perhitungan jumlah beban Kerja guru RA/ Madrasah harus mengacu pada SK Dirjen Pendis Nomor 166 Tahun 2012. Ingin download silahkan klik di sini. Jangan lupa kasi komentar..!

THE WILLINGNESS TO CHANGE


THE WILLINGNESS TO CHANGE
When I was young and free
And my imagination has no limits
I dreamed of changing the world
As I grew older and wiser
I discovered the world would not change
So I shortened my sights somewhat
And decided to change only my country
But it too seemed immovable
As I grew into my twilight years
In one last desperate attempt
I settled for changing only my family
Those closest to  me, but a las
They would have none of it
And now as I lay on my deathbed
I suddenly realize
If I had only changed myself first
Then by example I might have changed my family
From their inspiration and encouragement
I would then have been able to better my country
And who knows, I may have even change the world

BERTEMAN DENGAN SAYA