MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH ( MBS )
I.
PENDAHULUAN
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat
pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip
pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu
sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam
rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya
terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang
bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda,
yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen
mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan
school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai
pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut
memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom
dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya,
yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah
ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS
sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur
kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi
individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat
mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan
tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis
tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah
bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah
dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada
masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2
masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling
berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah,
sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
II.
PERUMUSAN
MASALAH
1.
Apa itu
Manajemen Sekolah
2.
Apa yang
dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3.
Apa
manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
4.
Apa
Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan
daerah, dan dewan sekolah?
5.
Apa
Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
6.
Apa
karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
7.
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan
dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga
pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada
manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat
manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari
manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan
administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan
sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama
untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara
efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah
secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen
dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1.
merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan
(organizing),
3.
mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan
(coordinating),
5.
mengawasi (controlling), dan
6.
mengevaluasi (evaluation).
Manajemen pendidikan mengandung arti sebagai
suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan
dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen
berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara,
seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama.
Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association
of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School
Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy
for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau
kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan
kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah
merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap
konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan
semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan
kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini
muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma
baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan
tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik
pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak
kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan
tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat
pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima
apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah
adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai
dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan
mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak
simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir
yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari
separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih
dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali
tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling
operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang
memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam
pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi
keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu
memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan
yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna
adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat
sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan
sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan,
kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari
setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh
ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi,
mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting),
dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial
suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi
untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan
di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah
mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau
Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan
Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu
dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak
dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen
berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari
Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation)
merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi
dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola
merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada
desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis
sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga
menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas.
Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara,
yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak
bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk
tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep
yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti
berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan
praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen
berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan
tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang
ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para
pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal
signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang
ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum
pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan
daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan
kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat
sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana
sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan
pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar
bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di
sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab
pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum
ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat.
Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam
keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan
belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah
upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi
belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di
sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka
dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di
tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan
yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus
menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan
ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang
terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih
demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran
yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang
melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi
(dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan
prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk
menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik
mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1.
Memungkinkan
orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan
meningkatkan pembelajaran.
2.
Memberi
peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
penting.
3.
Mendorong
munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4.
Mengarahkan
kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di
setiap sekolah.
5.
Menghasilkan
rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari
keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program
sekolah.
6.
Meningkatkan
motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
4.
Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Kemendiknas),
dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan
yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu
diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan
daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan
ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah
ancaman besar.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas
serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan
keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik
pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional
pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan
peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan
sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini
kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan
melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah
harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap
untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap
tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi.
Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami
kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi
program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga
masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah
ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan
sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional,
dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di
Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun
visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang
bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah
pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan
berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor
dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai
potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang
pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas
pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum
serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan
pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan
itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk
memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain
mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang
akan digunakan seragam di semua sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki
apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini
beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa
tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid.
Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang
memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah
di tingkat distrik.
Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah
mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain,
dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya.
Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan,
apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah
memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan
sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal
anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di
daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan
mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini
ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di
setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran
anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai,
peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran
dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum
tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke
anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih
besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan
efisiensi.
5.
Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah)
haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan
dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di
masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang
memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas
pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus
dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian
akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan
yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan
sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang
seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan,
penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi
antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang
terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan
MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar
memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan
kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
1.
MBS
harus mendapat dukungan staf sekolah.
2.
MBS
lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap. Kemungkinan diperlukan
lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3.
Staf
sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat
yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran
komunikasi yang baru.
4.
Harus
disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf
untuk bertemu secara teratur.
5.
Pemerintah
pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan
kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang
tua murid.
6.
Hambatan
Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa
hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS
adalah sebagai berikut :
1) Tidak
Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja
tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat
untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban.
Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal
yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru
tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain
dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan
anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2).
Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara
partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban
dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus
dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain
di luar itu.
3).
Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota
dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini
berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi
lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak
merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan
sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan
yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4)
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan
besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit
dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya,
pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5)
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar
telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti.
Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang
berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan
kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab
pengambilan keputusan.
6).
Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup
kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien.
Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya
masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah
dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah
ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup
tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang
diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang
terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang
dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari
bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi.
Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling
berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat:
meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan
keputusan lebih baik.
7.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang
diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan
lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan
sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan
keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil
tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan
penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David
Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar
murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah
dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan
MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang
mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian
ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang
dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah
mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah
ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak
mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan
prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot
studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas
benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya
peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika
keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk
MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan
MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru
menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat
dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar
murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang
dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan
keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih
efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin
fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah
menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan
meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid
menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan
efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan
kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya
meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja
guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan
ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang
dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada
terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang
bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan
bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus
orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di
Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih
banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan
motivasi guru.
Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward,
1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi &
Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan
keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan
dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf
untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi
kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk
kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat
pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan
kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada
belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan
kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
Di tingkat makro, studi internasional tentang
prestasi siswa seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi
pentingnya keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan
manajemen berbasis sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur
desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel,
profesionalisme, monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal
intelektual dan modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola
diri sendiri. (self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan
contoh pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11.
Modal sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara
sekolah, rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan
lembaga lain di sektor publik dan swasta.
Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya
kehendak strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam
keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi
berdampak pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk
pergeseran kewenangan, otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat
ke tingkat lain pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran
lain adalah membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari
belajar dan mengubah kultur di semua tingkat.
Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah
harus memastikan bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang
praktik yang baik dalam peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial
dan intelektual merupakan inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat
ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak
komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan
sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain
tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan
kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih
dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para
anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan
cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada
hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan
bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada
kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid
ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS
membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis
administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran
kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses
pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat
dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka
tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di
Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah
didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu,
tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan
di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi
kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi
Belajar ?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum
memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak
berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi
dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan
keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa
daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada
sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang
memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga
mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap
pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain
itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan
tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan
menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan
bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat
mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan
meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS
memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran
prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi
prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya
menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap
melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang
benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus
ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan
perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan
perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan
kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi
politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan
oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering
diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah
digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau
lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah,
Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis
sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar
di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan
perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah
beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan
ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama
mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI)
merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi
pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang
berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003)
menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah
memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik
manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang
lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi
eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi
tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan
pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang
mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis
sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang
membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun
mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam
pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan
hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan
manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin
sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga
kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus
menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat
sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini.
Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau
opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama,
atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen
berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar
birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu
strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak
atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak
karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell,
2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi
generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila
kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak
atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika
dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul
pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang
berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database
yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin
sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil
belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada
mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan
sekolah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS
terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang
menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan
Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa
penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no
firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama.
“There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship
between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan
lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu
hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS
tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil
penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a
positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s
achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada
sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan
terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan
Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power
of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”.
Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat
memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif.
Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan
bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe
(1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh
King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental
involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and
diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan
masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan
hasil belajar.
9.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang
sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang
diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1.
Salah
satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat
menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah,
termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala
sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An
essential point is that schools and teachers will need capacity building if
school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2.
Membangun
budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan
oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif.
Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster
tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan
ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3.
Pemerintah
pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam
rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan
block grant yang diterima sekolah.
4.
Mengembangkan
model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan
MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah.
Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih
memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa
penataran MBS.
IV. PENUTUP
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan
adalah melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem
pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru
yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan
sumber nilai publik baru. Ini berarti secara interaktif menghubungkan
lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda, bukan mencari cetak biru
(blueprint) yang statis yang membatasi berat relatifnya.
Secara
sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang
akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan
kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam
pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah,
penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.