Jumat, 24 Februari 2012

PENDIDIKAN KARAKTER VIS-A-VIS PENDIDIKAN AKHLAK


PENDIDIKAN KARAKTER
VIS-À-VIS
PENDIDIKAN AKHLAK
( Analisis Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang pendidikan karakter )
Makalah ini dibuat sebagai tugas akhir mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Islam
Dosen pengampu : Prof. DR. Usman Abu Bakar


I.                  PENDAHULUAN
Arus globalisasi yang ditandai dengan tidak ada lagi jurang penyekat antara satu negara dengan negara lain telah membawa dampak yang sangat serius dalam setiap lini kehidupan. Di samping banyak manfaat dari globalisasi ternyata di sisi lain arus globalisasi juga telah membawa kehidupan bangsa ini meninggalkan jati dirinya.
Kondisi yang sangat memprihatinkan lagi apabila kita tengok perilaku anak-anak bangsa disetiap hari. Bukan hanya pemuda bahkan para pejabat-pejabat negara juga telah hilang rasa malu dan takut untuk melakukan tindakan tercela. Perbuatan anarkis, asusila, premanisme dan banyak lagi perbuatan yang tidak mencerminkan budaya telah menjadi pengganti sarapan pagi di layar kaca.
Yang lebih ironis lagi perbuatan-perbuatan amoral itu banyak dilakukan oleh para pelajar dan kaum intelektual bangsa ini. Tidak jarang kita melihat tauran antar pelajar atau mahasiswa yang hanya mempermasalahkan masalah sepele belaka. Sementara dikalangan pejabat, politisi dan birokrat permasalahan korupsi, kolusi dan banyak lagi kasus telah menjadi buah bibir setiap hari.
Apabila kita bandingkan kondisi bangsa Indonesia pada periode tahun 1960-1970 an dengan kondisi bangsa Indonesia pada saat ini maka akan banyak kita dapati perubahan signifikan dalam sendi-sendi kehidupan..
Pada awal peride 60-70-an tingkat pendidikan, ekonomi dan teknologi masyarakat sangat rendah. Jumlah gedung-gedung sekolah dalam satu kecamatan masih dapat dihitung dengan jari dan pelajarpun masih sangat sedikit apalagi yang berstatus mahasiswa. Tingkat ekonomi masyarakat sangat rendah. Penghasilan rata-rata masyarakat masih dibawah angka kebutuhan. Namun, dengan kondisi yang masyarakatnya belum banyak mengenyam pendidikan, dengan ekonomi di bawah rata-rata angka kriminalisme, premanisme dan tindakan tercela lainnya masih sangat minim. Kita tidak pernah mendengar tauran antar pelajar atau mahasiswa pada periode itu. Kita juga tidak mendengar pejabat korup pada masa itu.
Pada saat ini dimana pendidikan telah hampir semua merasakan dan mengenyam pendidikan formal. Jumlah sarjana yang tidak terhitung lagi disetiap tahunnya. Gedung-gedung sekolah telah berdiri dengan megah dan dengan jumlah yang banyak. Namun sejalan dengan kemajuan-kemajuan itu aksi premanisme, anarkisme dan tindakan tercela lainnya juga semakin bertambah. Bahkan tidak jarang perilakunya adalah orang-orang yang justru berpendidikan.  
Ada apa dengan bangsa ini? Apakah mereka kurang mendapat pendidikan? Atau justru pendidikan yang mereka dapatkan tidak membawa perubahan pada jiwanya?
Kondisi di atas telah mengusik perhatian presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam beberapa kali pidatonya beliau telah menyampaikan budaya bangsa yang santun, sopan dan menghargai telah hilang diterjang arus globalisasi. Maka dari itu beliau mengharapkan agar budaya tersebut dapat kembali menjadi jati diri bangsa Indonesia. Perhatian presiden terhadap masalah tersebut sebenarnya kurang cepat ( untuk tidak mengatakan “terlambat”). Namun itikad baik ini harus tetap didukung oleh semua pihak demi kelangsungan kehidupan bernegara.
Dampak yang paling terasa dalam upaya pengembalian karakter atau budaya bangsa adalah sektor pendidikan. Karena pendidikanlah yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perilaku anak bangsa. Reformasi pendidikan harus mengacu pada pembangunan karakter bangsa. Proses pembelajaranpun harus menyisipkan karakter sebagai acuan keberhasilan pembelajaran.
Dalam makalah ini penulis ingin menganalisa Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dari Undang-undang tersebut yang menarik bagi penulis analisa adalah kata-kata yang berbunyi “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.” Inilah yang menjadi landasan hukum pendidikan karakter yang selama ini menjadi trend disemua jenjang satuan pendidikan.
Pertanyaan yang sangat mendasar dari analisa kebijakan ini adalah Kenapa yang menjadi trend Pendidikan berkarakter bukan pendidikan akhlak mulia? Kenapa jargon yang digunakan “Karakter” bukan “Akhlak”? padahal secara tekstual kata “Akhlak” tersurat dalam Undang-Undang tersebut.

II.                 POKOK-POKOK KEBIJAKAN/ REGULASI
Reformasi pendidikan yang diharapkan mampu mengatasi masalah di atas haruslah didasari dengan landasan hukum yang kuat dan jelas. Landasan hukum inilah yang menjadi acuan dan sebagai petunjuk untuk mengadakan perubahan bidang pendidikan. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 secar tegas mengatakan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Dari tujuan pendidikan itu maka muncullah pendidikan karakter yang digunakan disetiap jenjang pendidikan.
III.              ANALISIS KEBIJAKAN
A.                       ANALISIS YURIDIS
Tujuan pendidikan yang mulia ini seharusnya jangan sampai dinodai dengan perilaku antipati terhadap apapun termasuk antipati terhadap salah satu agama. Sikap segelintir orang yang antipati terhadap salah satu agama terkadang membawanya kepada anti terhadap jargon-jargon agama tertentu itu sendiri. Penggunaan kata “karakter” bukan kata “Akhlak” sebagaimana yang didengungkan selama ini menjadi ciri adanya islamophobia dipetinggi pemangku kebijakan pendidikan.
Padahal kata Akhlak mengandung arti lebih dari sekedar perilaku lahir, tetapi kata akhlak juga mengacu pada perilaku batin. Berbeda dengan karakter. Karakter hanya mengacu kepada perilaku lahir sebagai penilaian dari karakter itu sendiri.
Secara teoritis baik itu pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
 Sedangkan pendidikan akhlak mempunyai arti usaha bimbingan yang dilakukan orang dewasa terhadap perilaku dan tindakan anak didik agar cenderung dan terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan memiliki kepribadian yang utama yang dalam istilah agama Islam disebut akhlakul karimah.
Dari dua definisi ini dapat disimpulkan bahwa baik itu pendidikan karakter atau pendidikan akhlak memiliki tujuan yang sama yaitu agar peserta didik berperilaku baik sesuai dengan budaya bangsa.
Terlepas dari bahasa apa Akhlak itu jika kita kembalikan kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tadi maka seharusnya yang lebih pantas diproklamirkan adalah pendidikan akhlak dari pada pendidikan karakter karena kata”akhlak” tersurat dalam UU tersebut. Namun kenyataannya pemerintah lebih senang menggunakan kata karakter. Hal ini tentu menimbulkan kecurigaan adanya islamophobia bahkan yang lebih parah anti menggunakan jargon-jargon Arab yang identik dengan islam.
B.     ANALISIS EMPIRIS
Perilaku-perilaku buruk yang dilakukan oleh kalangan terpelajar di bangsa ini kebanyakan dilakukan oleh siswa-siswa sekolah umum ( SMP/SMU/SMK ) diterima atau tidak namun kenyataannya memang demikian. Sementara hampir tidak terdengar siswa-siswa yang sekolah di bawah naungan Kementerian Agama ( MTs/MA ) melakukan tindakan-tindakan amoral. Meskipun ada namun jumlahnya relatif sedikit. Kenapa hal ini terjadi?
Perbedaan yang paling menonjol dari dua jenis sekolah ini adalah conten pelajaran masing-masing. Sekolah yang beraada di bawah kementerian Agama dipelajari tentang pelajaran Akhlak sedari dini, sedangkan sekolah yang berada di bawah Kementerian Pendidikan tidak mempelajari pelajaran Akhlak.
Pelajaran agama di MTs atau MA cukup banyak sehingga mampu membangun dan menanamkan akhlak karimah kepada peserta didiknya sedangkan sekolah SMP dan SMU atau SMK hanya mempelajari pelajaran agama yang jumlah jamnya hanya sedikit.


IV.           SOLUSI ALTERNATIF
Berangkat dari kasus tersebut pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan harus meninjau ulang kurikulum sekolah. Jam pelajaran agama harus ditambah dengan memasukan pelajaran akhlak di dalam kurikulum. Jadi bukan hanya jargon karakter yang harus dirubah menjadi akhlak, conten kurikulum pun perlu mengalami perubahan sebagaimana disebutkan di atas. Pendidikan karakter harus dirubah menjadi Pendidikan Akhlak.
V.               PENUTUP
Pendidikan Akhlak sudah seharusnya membumi di Indonesia ini karena terbukti telah berhasil menanamkan perilaku dan akhlak baik dikalangan siswa melalui pelajaran akidah aklaknya.
Umat islam harus terus mensosialisasikan epistemologi keislaman dalam setiap lini kehidupan termasuk dalam sektor pendidikan. Jangan sampai sesuatu yang kita miliki diambil orang lain dan kita tidak menyadari bahwa itu milik kita.
Akhirnya, pendidikan sebagai pilar utama dalam membentuk karakter bangsa hanya dapat terwujud melalui pendidikan akhlak. Ini sudah seharusnya dicanangkan pemerintah dan disosialisasikan dalam proses pembelajaran di sekolah.









DAFTAR PUSTAKA


1.      Ghazali, Ihya ulumuddiin, Beirut,
2.      Membangun jati diri bangsa, Jurnal Yayasan jati diri bangsa, Gramedia, Jakarta, 2010
3.      Suriyana, Neti, membentuk Karakter bangsa, Uranus, Bekasi, 2011
4.      Kamus besar bahasa Indonesia 2010

BERTEMAN DENGAN SAYA