Minggu, 16 Oktober 2011

REVIEW BUKU DINAMIKA POLITIK “KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN SUNNAH” DI MESIR, MAROKO DAN INDONESIA Disusun Oleh : MARZUKI

Pergerakan reformasi islam dengan motto “kembali kepada Al-qur’an dan sunnah” yang didengungkan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahab atau lebih dikenal dengan gerakan wahabi telah membawa dunia islam penuh dengan corak perjuangan. Gerakan wahabi ini menjadi fenomenal dalam memurnikan agama islam bukan hanya di dunia Arab, namun maroko dan Indonesia juga menjadi sasaran pergerakan yang dipelopori Muhammad ibn Abd wahab ini. Meskipun tujuannya sama “ Back to the Qur’an and Sunna as the Ideal solution to the Decline of islam in the modern Age” namun dalam implementasi pergerakan di berbagai negara islam akan berbeda-beda termasuk Arab, Maroko dan Indonesia. Perbedaan pergerakan pemurnian ajaran islam tersebut dikarenakan berbeda latar belakang meletusnya setiap pergerakan itu sendiri, namun dalam konsep dasar semua pergerakan rata-rata sejalan dengan teori tantangan dan tanggapan ( Challenge and response ), teori kesinambungan dan perubahan ( Continuity and Change ) dan teori konflik pusat melawan pinggiran ( Center and Periphery ).
Berangkat dari Imperium Turki yang dianggap oleh Abd Al-Wahab umat islam pada masa itu telah terjangkit penyakit “penyimpangan moral dan kebusukan spiritual” yang kemudian Abd al-wahab menawarkan resep obat untuk keluar dari penyakit tersebut.  Dalam pergerakannya Abd wahab menentang penguasa bahkan praktik-praktik keagamaan yang dilakukan umat telah jauh dari esensi ajaran islam yang murni. Wahabi menolak taklid, ketergantungan epistemologis dan tassawuf. Tentu saja dalam hal ini wahabi sangat membenci ajaran syiah yang menggunakan tawasul ( perantara ) antara manusia dengan Allah sebagai ajaran.
Di Maroko gerakan wahabi lebih kental diaplikasikan dalam upaya perebutan kekuasaan. Sultan Abd Allah menggunakan motto yang sering didengungkan oleh orang wahabi untuk mempertahankan kekuasaannya dari golongan tradisionalis dan melawan marabut ( pemimpin tassawuf ). Gerakan ini berlanjut hingga beberapa kali pergantian kesultanan diantaranya adalah Sultan Malway Hasan I, Sultan Abd Aziz, sultan Abd Al-Hafiz, Al-Dukkali hingga Allal Al-Fasi.
Berbeda dengan Maroko, di Indonesia gerakan reformer ajaran islam berangkat dari kalangan pinggiran ( periphery ) yang berusaha untuk merombak kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada waktu itu seperti sabung ayam, berjudi dan minum alkohol. Untuk kali pertama gerakan wahabi di Indonesia dipelopori oleh Miskin yang berada di wilayah Sumatera Barat. Gerakan yang dilakukan Miskin semakin lama menjadi gerakan kuat yang dikenal dengan gerakan paderi. Gerakan ini ingin merubah beberapa adat yang berlaku di Sumatera barat yang tidak sesuai dengan ajaran islam sehingga gerakan paderi mendapat perlawanan dari adat. Selain itu gerakan paderi juga mendapat perlawanan dari Inggris dan kolonial Belanda karena merasa sebagai ancaman baru.
KH. Ahmad Dahlan membawa reformasi islam bagian Jawa. Menurutnya pemurnian ajaran islam bertujuan mengembalikan kejayaan umat islam yang telah hancur. Sama seperti reformer lainnya, Dahlan menentang segala apa yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan sunnah. Dahlan mengkritik tasawuf, konsep wasilah dan menurut  Dahlan melawan Belanda saat itu sama dengan bunuh diri bukan jihad. Pergerakan paderi, KH. Ahmad Dahlan dilanjutkan oleh  Ahmad Al-Sukarti, dan Kartosuwirjo yang hingga kini ciri dan peninggalan dari pergerakan tersebut masih ada.
Mesir, juga menjadi ajang pergerakan wahabi yang dimulai dari Muhammad Ali pasya, Jamaludin Al-Afghani dengan Al-Urwah Al-wutha, Muhammad Abduh, Hasan Al-banna dengan ikhwanul muslimin, dan Sayyid Qutb. Semua tokoh pembaharu Mesir memiliki arah perjuangan yang sama dan cara pandang yang sama pula. Mereka mengganggap kemunduruan umat islam saat ini dikarenakan umat islam telah jauh meninggalkan ajaran islam itu sendiri. Taklid, tertutupnya pintu ijtihad dan praktik-praktik tasawuf yang menjadi pilar utama dalam kemunduran itu. Dan gerakan wahabi hingga saat ini masih dan terus berkembang untuk memurnikan ajaran islam yang tentu memiliki arah dan tujuan sama namun berbeda latar belakang dan pola perjuangannya, sebagaimana telah disebutkan di muka.
  

Senin, 10 Oktober 2011

REVIEW BUKU GERAKAN WAHABI DI INDONESIA Pengarang : Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D. Direview Oleh : MARZUKI


Banyaknya penyelewengan terhadap ajaran islam dalam kehidupan manusia menimbulkan suatu pergerakan yang bertujuan untuk mengembalikan islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pergerakan yang tampil dalam dalam misi ini di pelopori oleh Muhammad ibn Al-Wahab dengan menamakan gerakan Wahabi (Wahabism). Muhammad bin Abd. Wahab menganggap bahwa tauhid uluhiyah banyak diselewengkan yang menyebabkan kemusyrikan. Sedangkan orang yang musyrik boleh dibunuh. Dalam ajaran wahabi semua pola kehidupan manusia harus sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits nabi. Kebiasaan-kebiasaan atau adat kehidupan yang bertentangan dengan kedua dasar islam tersebut harus dihapuskan.
Dalam tataran praktis wahabi mengaku sebagai gerakan salafiyah agar mendapat dukungan dari masyarakat. Namun dalam praktiknya mereka menggunakan cara-cara radikal dan memaksakan kehendak kepada orang lain.
Pengaruh gerakan Wahabi ini menyebar hingga ke Indonesia. Penyampaian “back to Qur’an and Sunna” sebagai misi ajaran wahabi terlalu ditafsirkan secara rigit dan literal sehingga terjadi bentrokan dengan adat masyarakat. Perang paderi antara kaum intelektual dengan adat menjadi suatu efek dari pemaksaan dalam penerapan gerakan wahabi ini. H. Miskin, H. Sumantik dan H. Piabang serta para pengikutnya kurang mendapatkan simpati dengan masyarakat. Hal ini disebabkan pendekatan mereka dalam penerapan wahabism terlalu dipaksakan.
Di garut, pengaruh wahabi dimanifestasikan dengan gerakan upaya penerapan syariat islam. K. Endang Yusuf dengan mengusung nama Komite Penegak Syariat Islam ( KPSI ) memaksakan agar Garut memberlakukan syariat islam secara lokal.
Lembaga pendidikan juga banyak terimbas wahabism seperti di pesantren-pesantren dengan menjustifikasikan simbol-simbol keislaman yang berlaku di Arab saudi perlu diterapkan dalam kehidupan keseharian umat islam di Indonesia. Larangan untuk mengkaji Al-Qur’an dan hadist yang keluar dari konsep nalar pemahaman wahabism. Pendidikanpun menjadi tempat doktrinisasi ajaran wahabi. Padahal pendidikan bukan sekedar transfer of knowledge namuun lebih jauh pendidikan juga mencakup aspek perilaku peserta didiknya untuk menjadi manusia yang beriman.
Di Solo implementasi gerakan wahabi lebih moderat. Dengan mendirikan Majlis Tafsir Al-Quran ( MTA ) H. Misbach menginginkan adanya purifikasi ajaran islam. Purifikasi ajaran islam atau tauhid ini mencakup jalan dakwah dengan tidak merusak atau desktruktif. Jalan dakwah dilakukan melalui media atau secara langsung dengan jalan khuruj.
Lebih lanjut gerakan wahabism juga merambah keperguruan tinggi dengan menanamkan ajaran islam secara simbolis-formalis membawa kearah islam fundamentalis. Gerakan islam kampus demikian dikenal cenderung bersifak ekslusif. Para penganut gerakan ini berusaha untuk menjauh dari kehidupan orang lain. Dr. Kainyo Harto, M.Ag. melalui penelitiannya mengharapkan agar gerakan ini dapat memberikan kontribusi keilmuan dan perluasan wawasan keislaman yang lebih komprehensif.

REVIEW BUKU GERAKAN WAHABI DI INDONESIA Pengarang : Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D. Direview Oleh : MARZUKI


Banyaknya penyelewengan terhadap ajaran islam dalam kehidupan manusia menimbulkan suatu pergerakan yang bertujuan untuk mengembalikan islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pergerakan yang tampil dalam dalam misi ini di pelopori oleh Muhammad ibn Al-Wahab dengan menamakan gerakan Wahabi (Wahabism). Muhammad bin Abd. Wahab menganggap bahwa tauhid uluhiyah banyak diselewengkan yang menyebabkan kemusyrikan. Sedangkan orang yang musyrik boleh dibunuh. Dalam ajaran wahabi semua pola kehidupan manusia harus sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits nabi. Kebiasaan-kebiasaan atau adat kehidupan yang bertentangan dengan kedua dasar islam tersebut harus dihapuskan.
Dalam tataran praktis wahabi mengaku sebagai gerakan salafiyah agar mendapat dukungan dari masyarakat. Namun dalam praktiknya mereka menggunakan cara-cara radikal dan memaksakan kehendak kepada orang lain.
Pengaruh gerakan Wahabi ini menyebar hingga ke Indonesia. Penyampaian “back to Qur’an and Sunna” sebagai misi ajaran wahabi terlalu ditafsirkan secara rigit dan literal sehingga terjadi bentrokan dengan adat masyarakat. Perang paderi antara kaum intelektual dengan adat menjadi suatu efek dari pemaksaan dalam penerapan gerakan wahabi ini. H. Miskin, H. Sumantik dan H. Piabang serta para pengikutnya kurang mendapatkan simpati dengan masyarakat. Hal ini disebabkan pendekatan mereka dalam penerapan wahabism terlalu dipaksakan.
Di garut, pengaruh wahabi dimanifestasikan dengan gerakan upaya penerapan syariat islam. K. Endang Yusuf dengan mengusung nama Komite Penegak Syariat Islam ( KPSI ) memaksakan agar Garut memberlakukan syariat islam secara lokal.
Lembaga pendidikan juga banyak terimbas wahabism seperti di pesantren-pesantren dengan menjustifikasikan simbol-simbol keislaman yang berlaku di Arab saudi perlu diterapkan dalam kehidupan keseharian umat islam di Indonesia. Larangan untuk mengkaji Al-Qur’an dan hadist yang keluar dari konsep nalar pemahaman wahabism. Pendidikanpun menjadi tempat doktrinisasi ajaran wahabi. Padahal pendidikan bukan sekedar transfer of knowledge namuun lebih jauh pendidikan juga mencakup aspek perilaku peserta didiknya untuk menjadi manusia yang beriman.
Di Solo implementasi gerakan wahabi lebih moderat. Dengan mendirikan Majlis Tafsir Al-Quran ( MTA ) H. Misbach menginginkan adanya purifikasi ajaran islam. Purifikasi ajaran islam atau tauhid ini mencakup jalan dakwah dengan tidak merusak atau desktruktif. Jalan dakwah dilakukan melalui media atau secara langsung dengan jalan khuruj.
Lebih lanjut gerakan wahabism juga merambah keperguruan tinggi dengan menanamkan ajaran islam secara simbolis-formalis membawa kearah islam fundamentalis. Gerakan islam kampus demikian dikenal cenderung bersifak ekslusif. Para penganut gerakan ini berusaha untuk menjauh dari kehidupan orang lain. Dr. Kainyo Harto, M.Ag. melalui penelitiannya mengharapkan agar gerakan ini dapat memberikan kontribusi keilmuan dan perluasan wawasan keislaman yang lebih komprehensif.

REVIEW BUKU GERAKAN WAHABI DI INDONESIA Pengarang : Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D. Direview Oleh : MARZUKI


Banyaknya penyelewengan terhadap ajaran islam dalam kehidupan manusia menimbulkan suatu pergerakan yang bertujuan untuk mengembalikan islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pergerakan yang tampil dalam dalam misi ini di pelopori oleh Muhammad ibn Al-Wahab dengan menamakan gerakan Wahabi (Wahabism). Muhammad bin Abd. Wahab menganggap bahwa tauhid uluhiyah banyak diselewengkan yang menyebabkan kemusyrikan. Sedangkan orang yang musyrik boleh dibunuh. Dalam ajaran wahabi semua pola kehidupan manusia harus sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits nabi. Kebiasaan-kebiasaan atau adat kehidupan yang bertentangan dengan kedua dasar islam tersebut harus dihapuskan.
Dalam tataran praktis wahabi mengaku sebagai gerakan salafiyah agar mendapat dukungan dari masyarakat. Namun dalam praktiknya mereka menggunakan cara-cara radikal dan memaksakan kehendak kepada orang lain.
Pengaruh gerakan Wahabi ini menyebar hingga ke Indonesia. Penyampaian “back to Qur’an and Sunna” sebagai misi ajaran wahabi terlalu ditafsirkan secara rigit dan literal sehingga terjadi bentrokan dengan adat masyarakat. Perang paderi antara kaum intelektual dengan adat menjadi suatu efek dari pemaksaan dalam penerapan gerakan wahabi ini. H. Miskin, H. Sumantik dan H. Piabang serta para pengikutnya kurang mendapatkan simpati dengan masyarakat. Hal ini disebabkan pendekatan mereka dalam penerapan wahabism terlalu dipaksakan.
Di garut, pengaruh wahabi dimanifestasikan dengan gerakan upaya penerapan syariat islam. K. Endang Yusuf dengan mengusung nama Komite Penegak Syariat Islam ( KPSI ) memaksakan agar Garut memberlakukan syariat islam secara lokal.
Lembaga pendidikan juga banyak terimbas wahabism seperti di pesantren-pesantren dengan menjustifikasikan simbol-simbol keislaman yang berlaku di Arab saudi perlu diterapkan dalam kehidupan keseharian umat islam di Indonesia. Larangan untuk mengkaji Al-Qur’an dan hadist yang keluar dari konsep nalar pemahaman wahabism. Pendidikanpun menjadi tempat doktrinisasi ajaran wahabi. Padahal pendidikan bukan sekedar transfer of knowledge namuun lebih jauh pendidikan juga mencakup aspek perilaku peserta didiknya untuk menjadi manusia yang beriman.
Di Solo implementasi gerakan wahabi lebih moderat. Dengan mendirikan Majlis Tafsir Al-Quran ( MTA ) H. Misbach menginginkan adanya purifikasi ajaran islam. Purifikasi ajaran islam atau tauhid ini mencakup jalan dakwah dengan tidak merusak atau desktruktif. Jalan dakwah dilakukan melalui media atau secara langsung dengan jalan khuruj.
Lebih lanjut gerakan wahabism juga merambah keperguruan tinggi dengan menanamkan ajaran islam secara simbolis-formalis membawa kearah islam fundamentalis. Gerakan islam kampus demikian dikenal cenderung bersifak ekslusif. Para penganut gerakan ini berusaha untuk menjauh dari kehidupan orang lain. Dr. Kainyo Harto, M.Ag. melalui penelitiannya mengharapkan agar gerakan ini dapat memberikan kontribusi keilmuan dan perluasan wawasan keislaman yang lebih komprehensif.

Sabtu, 08 Oktober 2011

REVIEW BUKU HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

Hermeneutika sebagai suatu metode penafsiran teks di Indonesia mungkin terasa asing terdengar. Akan tetapi jika dilihat secara historis hermeneutika sebenarnya sudah lama sejak berabad-abad dan berkembang pesat di Eropa barat. Pada saat itu hermeneutika digunakan untuk menginterpretasikan bible/ injil dalam upaya mengakomodasi dinamika perkembangan jaman.
Di Indonesia hermeneutika dewasa ini sangat diagung-agungkan sebagai metode pengganti tafsir al-qur’an. Para pengagum hermeneutika tidak memahami bahwa dengan istilah hermeneutika Al-Qur’an berimplikasi menyamakan Al-Qur’an dengan kitab ardhi lainnya. Lebih jauh hermeneutika juga mengganggap malaikat jibril dan nabi Muhammad SAW sebagai pendusta wahyu Allah.
Dr. Hasan Hanafi memaparkan tentang hermeneutika al-qur’an versus tafsir al-qur’an dengan mengkaji teori tafsir sebagai logika wahyu lalu mengatakan bahwa tafsir tidak memiliki kesolidan, prinsip-prinsip tidak teruji dan terseleksi dengan alasan tafsir tidak melampaui fase syarah (komentar), fase tafsil (detailisasi) dan fase tikrar (pengulangan).
Kondisi kontemporer mengungkapkan adanya dualisme antara teks keagamaan dan dunia nyata yang berseberangan. Teks keagamaan tenggelam dalam komentar tradisional dan dunia nyata dikendalikan oleh pemikiran manusia murni tanpa melihat penafsiran langsung dari teks keagamaan.
Upaya yang dilakukan untuk menjembatani dualisme ini memiliki kelemahan diantaranya tafsir dogmatis teologis selalu lebih merupakan teori tentang eksistensi Allah dari pada eksistensi manusia. Sedangkan tafsir kontemporer selalu terkait dengan kondisi lokal islam  dari segi sosial dan ekonomi. Tafsir kontemporer tidak pernah memulai dengan mengkritik, menyerukan perbaikan dan perubahan radikalitas kondisi yang bertentangan dengan agama, padahal mufasir klasik memulai dengan mengkritik dengan menuntut perbaikan dan perubahan kondisi yang ada.
Hermeneutika tidak hanya sebuah ilmu atau teori interpretasi memahami teks, tetapi mengandung pengertian sebagai ilmu yang menerangkan wahyu dari huruf kerealitas atau dari logos ke praktis. Tahapan hermeneutika meliputi kritik sejarah untuk menjamin otentitas kitab suci menurut sejarah dan proses merealisasikan maknanya dalam kehidupan nyata. Kesadaran dan objek hermeneutika memiliki tiga kesadaran yaitu kesadaran historis yang memastikan teks dan tingkat keabsahannya, kesadaran eidetik yang menjelaskan makna teks hingga menjadi rasional dan kesadaran praktis yang menjadikan teks sebagai dasar teori dalam pengamalan dan mengarahkan wahyu tuhan kepada tujuannya yang akhir dalam kehidupan nyata dan alam semesta sebagai tatanan ideal dimana dunia mencapai kesempurnaan.
Hermeneutika kontemporer memberikan klaim bahwa bahasa bukan konstruksi arbitrer kata-kata manusia untuk memberi bentuk pada peristiwa-peristiwa tertentu, namun untuk mencerahkan dan menjaga realitas dari peristiwa apapun. Dengan memanfaatkan proses ini, peristiwa sejarah dan realitasnya disimpan dalam bahasa. Senada dengan itu, ketika bahasa autentik bekerja dengan benar, ia membeberkan kepada kesadaran manusia seluruh realitas historis itu dan menyajikan kepadanya peristiwa-peristiwa masa lampau seakan-akan itu terjadi di hadapan mereka saat ini. Dengan mengikuti garis pemikiran seperti itu, wahyu dianggap dapat terjadi kapan saja, yakni ketika manusia “bertemu” dengan Tuhan melalui bahasa. Bahasa dengan demikian bukanlah bahasa supranatural sekalipun itu Kalam Tuhan; karena semua yang mengkomunikasikan Tuhan kepada manusia adalah Kalam Tuhan. Hermeneutik kontemporer, dengan demikian, membawa kita kepada redefinisi wahyu sebagai proses yang tiada henti, sesuatu yang tidak berhenti pada suatu periode tertentu.

BERTEMAN DENGAN SAYA